Sejarah Bahasa Tunanetra

Kapan Bahasa Tunanetra Pertama Kali Ditemukan?

Bahasa tunanetra, atau yang lebih dikenal dengan Braille, merupakan sistem komunikasi taktil yang memungkinkan penyandang tunanetra untuk membaca dan menulis. Penemuannya menjadi tonggak penting dalam membuka akses informasi dan pendidikan bagi komunitas tunanetra di seluruh dunia.

Menelusuri jejak sejarah, Braille tidak lahir secara tiba-tiba. Akarnya tertanam dalam berbagai sistem penulisan taktil yang telah ada sejak berabad-abad lampau.

Era Sebelum Braille:

  • Sistem Tactile Kuno: Catatan sejarah menunjukkan adanya sistem penulisan taktil yang digunakan sejak peradaban kuno, seperti Mesir Kuno dan Mesopotamia. Sistem ini umumnya menggunakan simbol-simbol yang diukir pada permukaan tanah liat atau batu.
  • Sistem Alphabet Manual: Pada abad ke-16, seorang dokter Spanyol bernama Pedro Ponce de Leon mengembangkan sistem alphabet manual untuk mengajar bahasa lisan kepada anak-anak tunarungu. Sistem ini menggunakan gerakan tangan untuk mewakili huruf-huruf alfabet.
  • Sistem Barbié: Pada awal abad ke-19, Kapten Charles Barbier dari Prancis menciptakan sistem taktil yang disebut Barbié. Sistem ini menggunakan kombinasi titik-titik yang diukir pada permukaan kertas untuk mewakili huruf-huruf alfabet.

Lahirnya Braille:

Di sinilah Louis Braille, seorang pemuda Prancis yang kehilangan penglihatannya di usia 3 tahun, memasuki kisah ini. Braille terinspirasi oleh sistem Barbié, namun ia menemukan beberapa kekurangan dalam sistem tersebut.

Pada tahun 1824, di usianya yang baru 15 tahun, Braille mulai mengembangkan sistem taktilnya sendiri. Sistem ini menggunakan kombinasi 6 titik yang diukir pada permukaan kertas untuk mewakili setiap huruf alfabet.

Sistem Braille memiliki beberapa keunggulan dibandingkan Barbié, yaitu:

  • Lebih ringkas: Setiap huruf diwakili oleh 6 titik, dibandingkan dengan 12 titik pada Barbié.
  • Lebih mudah dipelajari: Kombinasi titik Braille lebih intuitif dan mudah diraba oleh jari-jari.
  • Lebih fleksibel: Sistem Braille dapat digunakan untuk menuliskan angka, simbol, dan bahkan musik.

Penyebaran dan Pengakuan Braille:

Meskipun Braille awalnya tidak diterima secara luas, sistem ini perlahan mulai mendapatkan pengakuan di komunitas tunanetra. Pada tahun 1847, sekolah tunanetra pertama di Prancis mengadopsi sistem Braille.

Seiring waktu, Braille menyebar ke seluruh dunia dan menjadi standar internasional untuk komunikasi taktil bagi penyandang tunanetra. Saat ini, Braille telah diterjemahkan ke lebih dari 100 bahasa dan digunakan oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Penutup:

Penemuan Braille menandai era baru bagi komunitas tunanetra. Sistem ini membuka akses informasi dan pendidikan, memungkinkan penyandang tunanetra untuk mencapai potensi penuh mereka dan berkontribusi secara aktif dalam masyarakat.

Braille adalah bukti nyata dari kekuatan inovasi dan tekad manusia untuk mengatasi rintangan dan menciptakan dunia yang lebih inklusif.

Perkembangan Braille di Indonesia

Kisah Braille di Indonesia dimulai pada abad ke-20. Kedatangan sistem Braille ke Indonesia diperkirakan terjadi pada masa penjajahan Belanda. Sekolah khusus tunanetra pertama di Indonesia, yaitu “Sekolah Cacat Oey Tjeng Lie” yang didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1921, telah menggunakan Braille sebagai metode membaca dan menulis.

Seiring bertambahnya jumlah sekolah khusus tunanetra di Indonesia, Braille pun semakin dikenal dan diajarkan secara luas. Namun, pada awalnya, belum ada standarisasi Braille yang digunakan di Indonesia. Hal ini menyebabkan munculnya variasi dalam penulisan Braille, sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam komunikasi antar tunanetra dari daerah yang berbeda.

Standarisasi Braille Bahasa Indonesia

Upaya untuk menstandarisasi Braille Bahasa Indonesia dimulai pada tahun 1968. Melalui lokakarya yang diselenggarakan oleh PERWARI (Persatuan Tuna Netra Republik Indonesia), ditetapkanlah pedoman Braille Bahasa Indonesia yang mengacu pada sistem Braille Internasional.

Standarisasi ini menjadi langkah penting dalam memastikan keseragaman dan kelancaran komunikasi antar tunanetra di Indonesia. Braille Bahasa Indonesia tidak hanya mencakup huruf alfabet, angka, dan tanda baca, tetapi juga disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, seperti penggunaan huruf vokal bertitik dan huruf konsonan tanpa titik.

Tantangan dan Harapan

Meskipun Braille telah menjadi standar komunikasi taktil bagi tunanetra di Indonesia, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Di antaranya:

  • Keterbatasan akses: Belum semua materi pendidikan dan bacaan tersedia dalam format Braille.
  • Kurangnya pengajar Braille yang kompeten: Tidak semua sekolah khusus tunanetra memiliki pengajar yang memiliki kualifikasi untuk mengajarkan Braille secara efektif.
  • Pergeseran minat baca: Seiring dengan perkembangan teknologi, dikhawatirkan minat baca Braille di kalangan generasi muda tunanetra akan menurun.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan berbagai upaya, seperti:

  • Meningkatkan produksi buku dan materi bacaan dalam format Braille.
  • Menyediakan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi pengajar Braille.
  • Mengembangkan inovasi teknologi yang dapat memudahkan akses ke materi Braille.
  • Mempromosikan budaya literasi Braille di kalangan tunanetra.

Dengan terus berupaya mengatasi tantangan dan mengembangkan Braille, kita dapat memastikan Braille tetap menjadi alat yang relevan dan ampuh bagi komunitas tunanetra di Indonesia untuk mengakses informasi, pendidikan, dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat.